DARI PESANTREN BAITULLAH SAMPAI MENGINAP DI PAC

Catatan Khitthah dan Program Perjuangan PPP
Oleh Zubairi Hasan, Ketua Dep. Website & Jejaring Sosial DPP PPP

Dalam Rapat Pleno I DPP PPP 2011-2015, 21-22 Oktober 2011 di Jakarta, Ketua DPP PPP Ibu Ermalena menyampaikan pertanyaan mendasar, apakah pengurus PPP dari tingkat pusat sampai ranting yang berjumlah 1 juta lebih orang betul-betul ada dan bekerja untuk PPP atau hanya tertulis di atas kertas saja? Kalau 1 juta pengurus itu bekerja, kenapa suara PPP menurun terus? Sayang, dalam Rapat Pleno itu, pertanyaan Ibu Ermalena tidak mendapatkan jawaban yang tuntas.

Kalau dilakukan audit secara mendalam, niscaya kita tahu bahwa memang banyak PAC dan PR PPP yang kurang aktif atau tidak aktif sama sekali. Selain itu, banyak PAC/PR yang aktif jika ada even partai di atasnya, seperti Pemilihan Ketua DPC atau even lainnya. Di luar itu, wujuduhu ka’adamihi. Namun kita juga tidak perlu menutup mata terhadap beberapa PAC/PR yang melakukan aktivitas kepartaian secara rutin, antara lain melakukan kaderisasi, pelatihan, diskusi, dan kegiatan positif lainnya. Kita patut bangga dengan PAC/PR yang terus bekerja untuk PPP, meskipun sumber daya yang dimiliki sangat terbatas. Untuk itu, DPP PPP perlu memberikan penghargaan khusus terhadap PAC dan PR yang melakukan aktivitasnya dengan baik, bukan didiamkan saja. Apalagi mereka merupakan ujung tombak PPP yang berhadapan langsung dengan masyarakat.

Sebenarnya, Khitthah dan Program Perjuangan PPP yang disahkan dalam Muktamar VII PPP 2011 di Bandung sedikit memberikan jawaban dalam soal bagaimana menghidupkan PAC dan PR. Ada dua amanat yang diberikan oleh Khitthah, yaitu agar (1) PPP segera membangun Pesantren Baitullah dan (2) PPP mewajibkan pengurus di level atas menginap di rumah Ketua PAC dan PR minimal setiap 6 bulan.

Dalam Rapat Pleno I DPP PPP, Ketua Umum PPP H. Suryadharma Ali membacakan dan sedikit mengulas kedua program itu. Ini berarti, Ketua Umum sudah mengetahui bahwa Khitthah dan Program Perjuangan PPP sudah mengamanatkan kedua program itu, sehingga selanjutnya tinggal direalisasikan oleh DPP PPP agar tidak dicap telah mengkhianati amanat forum tertinggi PPP, yaitu Muktamar VII 2011.

Pesantren Baitullah

Amanat pendirian Pesantren Baitullah diulas dalam Bab Pemenangan Pemilu Khitthah dan Program Perjuangan PPP yang berbunyi:

DPW PPP dengan bantuan DPP membangun Pondok Pesantren Ka’bah/Baitullah paling sedikit satu lembaga di setiap provinsi yang mendidik secara gratis anak muda berusia 16-19 yang putus sekolah, tidak mampu, atau anak yatim/piatu dengan pendidikan (1) ke-Islam-an, (2) ke-PPP-an, dan (3) kewirausahaan dan praktikumnya, sehingga Pondok Pesantren Ka’bah itu mampu melahirkan peserta didik yang siap untuk  mandiri dan berjuang bagi PPP di anak cabang atau ranting yang membutuhkannya. Pesantren ini merupakan pintu masuk agar PPP meningkatkan kepeduliannya pada kaum dhua’fa (wong cilik/kaum lemah) dan mustad’afin (kaum tertindas) serta pada saat bersamaan membangun sistem kaderisasi yang berkesinambungan dan institusional.

Menurut peserta Muktamar yang mengusulkan hal ini bahwa Pesantren Baitullah adalah program unggulan PPP yang dimaksudkan untuk: (a) secara internal PPP menyelesaikan masalah kaderisasi yang kurang berjalan efektif, (b) secara keumatan, mengangkis umat Islam di level paling bawah dari kemiskinan dan keterbelakangan pendidikan, serta (c) secara kebangsaan, merupakan pintu masuk untuk menyelesaikan persoalan pengangguran yang merupakan persoalan akut bagi bangsa Indonesia.

Pesantren Baitullah ini tidak akan mahal, karena meskipun gratis, namun peserta didik dituntut untuk berwirausaha di luar jam belajar. Misalnya, waktu belajar dari jam 07.00 sampai jam 11.00 dengan 3 materi utama yaitu Ke-Islam-an, ke-PPP-an, dan kewirausahaan. Setelah itu peserta didik berjualan keliling atau membuka toko yang difasilitasi Pesantren, di mana keuntungan menjadi hak peserta didik dan sebagian kecil disetorkan ke Pesantren Baitullah. Hal ini terus dilakukan minimal selama 3 tahun.

Peserta didik diupayakan berasal dari anak yatim piatu dan kaum dluafa/mustad’afin berusia 16-19 tahun yang selama ini mereka bekerja serabutan atau menganggur, karena tidak mempunyai asset/modal usaha atau pengetahuan memadai, kecuali hanya tenaga saja. Dengan sentuhan sedikit kewirausahaan dan modal dasar seperti gerobak, mereka siap untuk menjadi kader PPP yang mandiri dan militant di masa mendatang.

Alumni Pesantren Baitullah tidak akan menjadi pengangguran, karena sejak dini sudah dibiasakan berwirausaha. Selain itu, alumni Pesantren Baitullah siap untuk memperkuat barisan PPP di level paling lemah di PPP yaitu di tingkat kecamatan dan ranting dengan militansi yang tidak dapat diragukan lagi.

Masyumi besar karena aktivisnya atau Masyumi secara institusional meninggalkan lembaga-lembaga Islam yang sampai kini dinikmati umat Islam, seperti Universitas Islam Bandung, Universitas Islam Sumatera Utara, dan lain sebagainya. Padahal usia Masyumi dalam kancah perpolitikan nasional hanya sekitar 15 tahun. Lalu bagaimana dengan PPP yang sudah berusia 30 tahun? Apa saja yang sudah didedikasikan untuk umat? Pesantren Baitullah ini merupakan cikal bakal agar PPP dapat membangun pesantren yang mempunyai visi kewirausahaan namun pada saat bersamaan melahirkan kader militan untuk kemajuan PPP. Jika PPP mati karena berbagai alasan, masyarakat Indonesia akan terus mencatatnya dengan tinta emas, sebagaimana mereka mencatat Masyumi dahulu.

Menginap Di rumah PAC/PR

Program menginap di rumah Ketua PAC/PR dijelaskan dalam Bab Pemenangan Pemilihan Umum Khitthah dan Program Perjuangan PPP yang berbunyi:

DPP PPP dan DPW PPP mewajibkan dan mengatur agar Pengurus Harian DPP dan DPW  serta ditemani Pengurus Harian DPC secara bergiliran dan sesuai dengan daerah pemilihannya “menginap” di rumah Ketua Anak Cabang atau Ketua Ranting, atau di mushalla terdekat, lalu melakukan pendidikan politik, santunan anak yatim, dan kegiatan positif lainnya. Seorang Pengurus Harian melakukan kegiatan seperti ini paling sedikit setiap 6 bulan.

DPP PPP, DPW PPP, dan DPC PPP mengatur anggota DPR dan DPRD Provinsi dari PPP ditemani anggota DPRD Kabupaten/kota dari PPP sesuai dengan daerah pemilihannya secara bergiliran “menginap”  di rumah Ketua Anak Cabang atau Ketua Ranting, atau di mushalla terdekat, lalu melakukan pendidikan politik, santunan anak yatim, dan kegiatan positif lainnya. Seorang anggota DPR atau DPRD dari PPP melakukan kegiatan seperti ini paling sedikit setiap 3 bulan.

Ketentuan di atas merupakan salah satu upaya agar pengurus PPP di level paling atas dapat bersilaturahmi secara langsung pada pengurus PPP di level paling bawah. Perlu ditegaskan di sini, pengurus PPP di level bawah paling banyak menghadapi persoalan, karena pada satu sisi pengurus PPP di level bawah dituntut untuk membantu menyelesaikan persoalan kader dan keumatan secara langsung, namun pada saat bersamaan sumber daya yang mereka miliki sangat terbatas. Sementara itu, pengurus PPP di level atas tidak bersentuhan langsung dengan persoalan riil di lapangan, namun mereka mempunyai kesempatan lebih besar untuk mengakses sumber daya yang halal dan legal.

Nah, kewajiban bagi Pengurus Harian DPP dengan ditemani Pengurus Harian DPW dan DPC serta kewajiban anggota DPR dengan ditemani anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dimaksudkan agar persoalan di level paling bawah dapat diselesaikan dengan bantuan pengurus PPP di level paling atas. Selain itu acara ini penting bahwa PPP merupakan organ yang seperti disitir al-Hadist “kal bulyan, yasyuddu ba’dluhum ba’dla”. PPP merupakan sebuah organisasi yang seperti bangunan di mana satu bagian dapat memperkuat bagian lainnya.

Katakanlah, jika dalam satu waktu ada 55 Pengurus Harian dan 38 anggota DPR menginap di rumah Ketua PAC/PR, ada sekitar 90 titik, di mana pengurus PPP di level atas menghidupkan sel-sel dan roda organisasi PPP di level paling bawah. Lalu, dengan inspirasi itu DPW melakukan hal yang sama, maka pada saat bersamaan aka nada ratusan titik di mana upaya untuk menghidupkan sel paling bawah dari organ PPP diintensifkan. Jika hal itu dilakukan secara istiqamah, maka seluruh 6.000 lebih PAC dapat dihidupkan. Hanya dengan cara ini, PPP akan  menjadi partai besar, karena mesin organisasi di level paling bawah terus hidup. Pengurus PPP di level paling atas tidak bisa hanya menyerahkan masalah PAC dan PR kepada DPC, karena

Kejayaan Masyumi di masa lalu, salah satunya, karena para tokoh nasionalnya rela datang ke sebuah pelosok pedesaan, meskipun hanya untuk meresmikan kantor di tingkat kecamatan atau tingkat desa. Tokoh Masyumi seperti M. Natsir dan Kasman Singademedjo, sebagai diulas dalam buku biografinya menceritakan bagaimana mereka berkunjung ke kantor Masyumi tingkat kecamatan meskipun untuk mencapainya harus naik kereta, naik perahu, naik kuda, lalu berjalan kaki. Kenapa PPP tidak melakukannya untuk mengikuti jejak kejayaan Masyumi?

Penutup

Khitthah dan Program Perjuangan PPP merupakan landasan bagi PPP untuk merumuskan kebijakan dan program kerja. Khitthah diubah dan disahkan setiap Muktamar, sehingga mempunyai kekuatan hukum paling tinggi di internal PPP karena disahkan dalam forum tertinggi. Untuk itu, DPP PPP berkewajiban merealisasikannya agar tidak dianggap mengkhianati amanat Muktamar. Selamat bekerja….!

Be the first to start a conversation

Tinggalkan komentar