Capres Republik Suvei

Posted on November 17, 2011

0


Belum lagi pemerintahan SBY memasuki usia tiga tahun, dan Pemilu 2014 baru akan digelar 3 tahun mendatang, tapi sudah banyak muncul nama-nama Calon Presiden (Capres) yang disodorkan ke depan publik. Walau nama-nama Capres yang beredar belum menjadi kepastian sebagai Capres di pemilu mendatang karena memang belum mendapat “stempel” dari lembaga berwenang yaitu KPU, namun begitulah kondisi politik di negeri ini. Politik tidak lagi dimaknai sebagai sistem membangun negara dan mensejahterakan rakyat, tetapi ia lebih pada politik untuk politik itu sendiri (jika tak ingin menyebut sebagai bentuk perebutan kekuasaan).

Alasannya sederhana. Munculnya hasil survei tentang capres di tengah keterpurukan popularitas pemerintahan SBY adalah sebagai cara sistematis untuk menaikkan tingkat alternatif mereka di tengah masyarakat yang sedang kecewa dengan pemerintahan sekarang. Alih-alih memberikan kontribusi solusi dalam memecahkan masalah kebangsaan, munculnya nama-nama capres tersebut justru membuat konsentrasi masyarakat politik negeri ini terpecah. Dan ini sangat identik dengan pengalihan isu atau jika ekstrem bisa mengatakan sebagai penyesatan informasi.

Terlepas dari hal tersebut di atas, bermunculannya nama-nama Capres dari hasil survei paling tidak menandai babak baru pertarungan politik Pilpers 2014 yang akan datang. Dan yang perlu mendapat perhatian adalah independensi lembaga-lembaga survei itu sendiri. Sepanjang era reformasi bergulir lembaga survei telah difahami sebagai alat kampanye “terselubung”, sulit mengatakan bahwa independensi dan akuntabilats akademik dapat terjawab dari semua survei.

Sebut saja hasil survei Soegeng Sarjadi Syndicate yang menempatkan Prabowo Subianto pada posisi teratas. Sebaliknya, nama Megawati Soekarnoputri yang menjadi saingan Prabowo dalam beberapa survei, justru menghilang bahkan megawati popularitas dibawah Dahlan Iskan? Aneh bukan? Bagaimana mungkin sosok Megawati yang mantan presiden dan ketua partai besar kalah populer dari Dahlan Iskan?

Lain SS lain pula Lingkaran Survei Indonesia (LSI) menunjukkan bahwa Golkar mampu meraih 18,2 persen pemilih, sementara Demokrat hanya 16,5 persen, Penyebab utama kenaikan Golkar karena program membangkitkan rakyat kecil dari Aceh sampai Papua. Secara bersamaan, kasus Nazarudin mencuat dan menggerogoti suara pemilih demikian kesimpulan para peneliti LSI. Semakin aneh bukan? Kalau memang masyarakat kecewa dengan partai demokrat dan adanya skandal di partai tersebut lha kok tiba-tiba dukungan beralih ke partai golkar??

Ada juga hasil survei Jaringan Suara Indonesia (JSI) yang menempatkan Megawati berada di puncak dengan 23,8%, disusul Prabowo Subianto dengan 17,6%, kemudian Aburizal Bakrie dengan 13,7%, apa iya sih stok pemimpin nasional itu-itu saja? Mosok yang lain nggak masuk? Aneh ya.

Nah, dari contoh data yang dikeluarkan beberapa lembaga survei di atas setidaknya ada perbedaan pada hasilnya. Inilah yang menjadi dalil bagi masyarakat yang meragukan keberadaan dan independensi lembaga survei yang ada. Selain itu menjadi kuat pula anggapan orang yang mengatakan bahwa ini adalah sebuah kampanye terselubung dan sistematis untuk mulai “menyulap” pikiran masyarakat yang kecewa dengan pemerintahan sekarang untuk mulai familiar dengan nama-nama Capres Republik Survei.

(DW/BP)

Posted in: SOROTAN